3 UTS-3 My Stories for You
“Kereta ke Bandung”
oleh Naomi Azzahra
Aku naik kereta subsidi dari Solo menuju Bandung — kereta yang tak mengenal sunyi. Suara pedagang memanggil pelanggan bersahut-sahutan dengan tangis bayi yang tak mau tidur. Kursi sempit, udara penuh aroma nasi bungkus, dan tawa yang berdesak-desakan di antara derit roda besi.
Awalnya, aku berpikir perjalanan ini akan melelahkan. Aku sempat berharap punya kursi sendiri tanpa disandari bahu orang lain, atau jendela yang bisa kututup rapat dari angin panas. Tapi di sinilah aku belajar sesuatu yang berbeda: keramaian di gerbong itu bukan sekadar kebisingan — ia adalah bentuk kehidupan yang paling jujur.
Orang-orang di dalamnya mungkin tak punya banyak, tapi mereka saling berbagi tanpa hitung-hitungan. Seorang ibu menyuapi anak orang lain dengan potongan pisang. Seorang bapak tua berbagi rokok dengan pemuda yang baru dikenalnya lima menit lalu. Dan ketika ada anak kecil terjatuh, dua tangan berbeda — dari dua orang asing — segera mengangkatnya bersamaan.
Etika? Ah, mungkin tidak ada etika dalam arti “rapi” seperti di buku panduan sopan santun. Orang berbicara keras, makan tanpa basa-basi, bahkan berebut tempat duduk tanpa permisi. Tapi tidak ada yang marah. Semua tertawa, dan dalam tawa itu ada kejujuran yang tak bisa dibeli.
Aku duduk di antara mereka, mendengarkan cerita tentang rumah yang jauh, tentang kerja yang berat, tentang anak-anak yang masih menunggu di ujung perjalanan. Setiap suara, meski gaduh, terasa seperti lagu rakyat — sumbang tapi tulus.
Saat malam turun dan gerbong perlahan tenang, aku menatap ke luar jendela: kota demi kota berganti, lampu-lampu kecil berlari di kejauhan. Aku tersadar — mungkin inilah wajah sesungguhnya Indonesia: tidak rapi, tidak hening, tapi hangat. Saling menolong bukan karena punya banyak, melainkan karena tahu rasanya punya sedikit.
Ketika kereta berhenti di Bandung, aku turun dengan hati yang lebih penuh dari tas yang kubawa. Kereta itu ribut, tapi di dalamnya aku menemukan keheningan yang tidak bisa dijelaskan — keheningan yang lahir dari rasa syukur dan kemanusiaan sederhana.