1 UTS-1 All About Me

Halo, Aku nomi
Aku Naomi Azzahra — seorang pemimpi yang terlalu banyak bicara untuk dibilang pendiam, dan terlalu banyak berpikir untuk dibilang spontan. Aku seorang extrovert sejati: aku hidup dari percakapan, tumbuh dari kata-kata, dan tanpa manusia untuk diajak bicara, rasanya pikiranku jadi terlalu bising. Pernah ada hari di mana aku tidak berbicara dengan siapa pun, dan tubuhku meresponsnya seperti kekurangan oksigen—gelisah, kering, sepi.
Dulu, aku ingin jadi banyak hal: penulis, pengacara, jurnalis, bahkan pembuat dokumenter. Dunia bagiku adalah kumpulan kisah, dan aku selalu ingin menjadi orang yang menceritakannya. Mungkin karena itu aku jatuh cinta pada musical. Lagu-lagu di dalamnya bukan sekadar melodi, tapi narasi yang menyatu dalam harmoni—cerita yang dinyanyikan.
Sekarang, aku lagi terobsesi dengan EPIC: The Musical, dan satu lagu yang paling menempel di hati adalah “Olive Tree.” Lucunya, lagu itu bahkan tidak masuk ke album resminya—hanya karya penggemar. Tapi mungkin justru di situ keindahannya: sesuatu yang lahir dari cinta terhadap cerita, bukan sekadar produksi besar. Mendengarkan lagu itu seperti menonton seseorang memperjuangkan mimpinya untuk tetap didengar. Aku rasa, di situ aku menemukan diriku sendiri.
1.1 Kisah Pribadi: Antara Sunyi dan Cerita
Aku punya hubungan yang rumit dengan “cerita.” Karena dulu, cerita jugalah yang menyelamatkanku. Waktu SD, aku dikenal sebagai “anak aneh”—terlalu suka membaca, terlalu sering menulis, terlalu banyak bercerita tentang hal-hal yang orang lain tidak peduli. Aku dihindari, dijauhi, bahkan sempat membohongi ibuku dengan bilang kalau aku punya banyak teman, supaya beliau tidak khawatir. Saat itu aku belajar betapa sunyinya menjadi “berbeda.”
Akibatnya, aku tumbuh dengan perasaan rendah diri yang dalam. Aku merasa setiap langkahku salah, setiap kata yang keluar dari mulutku adalah kesalahan yang harus segera aku tarik kembali. Aku terbiasa meminta maaf bahkan untuk hal-hal kecil, seolah keberadaanku sendiri adalah gangguan.
Suatu hari, sekadar iseng, aku daftar seleksi tim olimpiade sekolah. Aku tidak punya ekspektasi apa pun. Tapi ternyata aku diterima—dan bukan cuma diterima, aku jadi salah satu yang menonjol. Ironisnya, baru di situ aku mulai dianggap “ada.” Orang-orang yang dulu menertawakanku, mulai mendekat. Tapi sebagian besar hanya untuk menanyakan jawaban latihan.
Dari situ aku belajar sesuatu yang agak pahit: manusia sering kali mendekat karena butuh, bukan karena benar-benar ingin mengenalmu. Tapi pelajaran itu juga yang membentukku. Aku jadi tahu betapa berartinya orang-orang yang datang bukan untuk “mengambil,” tapi untuk “berbagi ruang.”
1.2 Pertemanan dan Diriku Sekarang
Sekarang, aku sudah tidak lagi menjadi anak yang takut bersuara. Aku punya teman-teman yang benar-benar mendukungku—mereka tidak menertawakan hal-hal yang aku sukai, malah ikut antusias ketika aku membicarakan musik, seni, atau literatur yang aku kagumi. Mereka mengingatkanku bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi “berbeda,” dan bahwa keunikan justru adalah bentuk paling jujur dari keberanian.
Aku tidak lagi mencari validasi dari “berguna,” tapi dari tulusnya koneksi. Aku percaya diri menjadi diriku sendiri—banyak bicara, penuh ide, dan selalu haus cerita.
1.3 Penutup: Cerita Sebagai Jembatan
Dan mungkin itu inti dari siapa aku: seorang pemimpi yang percaya, bahwa cerita—baik dalam lagu, tulisan, atau percakapan—adalah cara terbaik manusia untuk saling menyentuh hati.
Aku percaya daya tarik manusia bukan dari apa yang ia miliki, tapi dari bagaimana ia membuat orang lain merasa dilihat. Itulah mengapa aku mencintai kata, suara, dan cerita—karena di sanalah manusia benar-benar bertemu.